Jauh di lubuk hatiku, Masih terukir namamu
Jauh di dasar jiwaku, Engkau masih kekasihku
Tak bisa kutahan laju angin,
Untuk semua kenangan yang berlalu
Hembuskan sepi… merobek hati
Meski raga ini tak lagi milikmu,
Namun di dalam hatiku sungguh engkau hidup
Entah sampai kapan, Kutahankan rasa cinta ini
Dan kuberharap semua ini
Bukanlah kekeliruan seperti yang kukira
Seumur hidupku, Akan menjadi do’a untukmu
Andai saja waktu bisa terulang kembali
Akan kuserahkan hidupku di sisimu
Namun kutahu itu tak kan mungkin terjadi
Rasa ini menyiksaku, sungguh-sungguh menyiksaku
Rahman menghela nafas mendengarkan bait-bait syair lagu dari laptop di meja kantornya. Dia merasa seperti menghayati jalan hidup yang sekarang sedang dilaluinya. Bagaimana tidak, seperti lirik dalam lagu itu, di hatinya memang akan selalu ada sebuah nama yang disimpannya dalam-dalam di relung hatinya. Ya… tak akan pernah bisa hatinya benar-benar melepaskan cinta pertama yang dia punya untuk seseorang yang selalu dekat dengannya. Angannya pun mengembara ke masa belasan tahun lalu, saat semuanya bermula.
Begitu melihatnya, Rahman langsung menyukai gadis mungil yang duduk di bangku sebelahnya. Wajah bayinya yang menggemaskan, dengan rambut panjang dikepang rapi, dan senyum serta tawanya yang segar menular, benar-benar telah memikat hati Rahman saat pertemuan pertama mereka.
Tadinya, ia mengira perasaan itu akan hilang begitu saja, seperti rasa yang dimiliki anak-anak seusianya. Tetapi setelah enam tahun yang dilaluinya bersama, tak pernah mengubah apa yang sudah ada dalam hatinya terhadap Ila, gadis yang membuatnya selalu bersemangat menempuh perjalanan lebih dari 10 km itu, dengan sepeda setiap harinya.
Mungkin cinta memang terlalu awal hadir untuknya. Sehingga masa enam tahun yang kembali terlampaui pun, belum juga mampu menguatkan dirinya untuk mengungkapkan semua perasaannya pada Ila. Padahal, Rahman tetap setia berkunjung ke rumah gadis idamannya itu, meskipun sekolah mereka telah berbeda. Rahman hanya merasa, belum waktunya cinta terungkap dalam kata.
Setiap perjumpaan dengan Ila, walaupun hanya bisa dilakukannya saat libur dan hari raya, selalu membuat hatinya bahagia. Rasa itu tetap sama, meski di sekitar mereka hadir juga teman-teman masa kecilnya, ikut meramaikan pertemuan mereka. Perasaan Rahman pada Ila, memang unik. Meski belum bisa dia ungkapkan, namun juga tak pernah didapatkan penolakan, dari gadis yang masih membuat hatinya berbunga-bunga.
Sampai akhirnya, Rahman harus bisa menerima kenyataan yang ada terhadap semua perasaannya pada Ila. Meskipun tidak dalam bahasa sejelas kata-kata Aku Cinta Padamu, Rahman telah mengungkapkan semua rasa yang dia punya untuk Ila, dalam berlembar-lembar surat yang dia kirimkan untuk pujaan hatinya itu. Dan takdir memang menentukan lain. Ila telah memastikan lewat balasan suratnya, bahwa rasa yang dia punya untuk Rahman, hanya sebagai sahabat, tidak lebih.
******
Lalu, apa yang terjadi dalam kisah Rahman dan Ila selanjutnya. Keapikan ceritanya bisa didapatkan di antologi ke-9 karya Alifadha Pradana. Buku yang berisi tema-tema cinta yang tak pernah mati ini, masih dipublikasikan oleh Penerbit Adzkiya. Bisa menjadi referensi untuk menjadikan cinta di hidup kita menjadi cinta yang berkelanjutan. Cinta sepanjang hidup, bahkan di kehidupan sesudah Mati…
No Responses