Sebuah Kontemplasi dari Perjalanan Kehidupan

Sebuah Kontemplasi dari Perjalanan Kehidupan

Sumber : Dokumentasi Pribadi

 

Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk (Cetakan ke-13, tahun 2015) membahas mengenai kesombongan kita yang cenderung sibuk mengurusi kehidupan dunia, dengan hanya sedikit perhatian untuk akhirat. Padahal, tugas manusia hidup di dunia sesungguhnya adalah untuk beribadah dan mengumpulkan bekal buat akhirat. Sehingga porsi untuk ini, seharusnya lebih banyak ketimbang memuaskan diri dengan kenikmatan dunia.

 

 

Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

 

Siapa penulis buku ini?

Ahmad Rifa’i Rif’an adalah seorang engineer lulusan Mechanical Engineering ITS Surabaya, yang menghabiskan masa remajanya di pesantren Miftahul Qulub, Lamongan. Selain sebagai engineer, dia juga menjalani aktivitas sebagai entrepreneur dan writer. Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk, hanya satu dari banyak karyanya yang paling tebal tetapi juga paling mahal, yang best seller dan masih cetak ulang berkali-kali hingga sekarang.

 

Untuk siapa buku ini?

Para muslim dan muslimah yang ingin mendapatkan pencerahan dalam memaknai kehidupan yang penuh kesibukan.

Siapa pun yang membutuhkan bacaan yang bisa memberikan insight spiritual dalam menjalani hidup yang penuh kebahagiaan dan keberkahan.

 

Apa yang dibahas buku ini?Upaya untuk membangkitkan kesadaran dalam memaknai ulang aktivitas yang dilakukan sehari-hari.

Banyak yang sudah khatam, bahkan mungkin hafal dengan isi dari firman Tuhan dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Namun, berapa banyak dari kita yang mampu dengan sungguh-sungguh memaknai kedalaman ayat ini? Bahwa setiap aktivitas yang kita lakukan di dunia, sejatinya harus selalu diupayakan dalam rangka beribadah kepada-Nya.

 

Dalam rangkuman ini kita akan belajar bagaimana berkaca dari setiap kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Supaya tidak terjebak dengan kesibukan pekerjaan atau rutinitas mengurus rumah – bagi para ibu rumah tangga. Namun, tetap punya waktu untuk beribadah dan berkomunikasi kepada Tuhan. Sekaligus mengaplikasikan syahadat yang selalu kita lafazkan saat salat dalam setiap aktivitas tersebut.

 

Hal-hal menarik yang bisa kita pelajari antara lain:

  1. Bagaimana memperbaiki urusan dunia kita, supaya bisa menjadi bekal terbaik buat kehidupan akhirat?
  2. Bagaimana menjadikan rumah kita sebagai surga dunia, yang membuat kita merasa nyaman dan bahagia di dalamnya?
  3. Bagaimana menjadi muslim yang memancarkan cahaya surga di mana pun berkiprah?
  4. Bagaimana cara mengisi hidup supaya menjadi rahmat bagi banyak orang.

 

Kehidupan Dunia Ibarat Tempat Berteduh Bagi pengembara. Yang Berhenti Hanya Sebentar Saja untuk Melepaskan Penat, Kemudian Melanjutkan Perjalanan Kembali.

Berapa banyak orang yang menipu dirinya sendiri, merasa bisa berlama-lama di dunia, terlena dengan gemerlap isinya. Sehingga lupa untuk mengumpulkan bekal bagi perjalanan menuju kampung akhirat yang kekal.

 

Jika direnungkan, berapa kali dalam sehari kita mengulang-ulang kalimat “sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Semesta Alam”. Namun, berapa banyak perilaku kita yang membuktikan kebenaran perkataan tersebut? Saking seringnya, kita seperti otomatis saja mengucapkannya. Sementara untuk menuangkannya secara nyata, hanya segelintir orang yang sanggup melakukannya. Apakah kita termasuk di dalamnya? Hanya kejujuran diri yang bisa menjawabnya.

 

Sebenarnya, bagaimana kedudukan kalimat itu dalam diri kita tergambar dari setiap aktivitas yang kita lakukan setiap hari. Ketika kita sedang asyik menyelesaikan tulisan, kemudian terdengar panggilan salat, apa yang kemudian dilakukan? Apakah kita langsung meletakkan pena atau laptop sebagai alat kerja tersebut dan melaksanakan salat? Atau melaksanakan salat beberapa waktu kemudian setelah tulisan tersebut rampung?

 

Apa yang akan kita lakukan sebagai pelajar, ketika tidak bisa mengerjakan soal ujian? Apakah menyontek kiri kanan, menganggap tak ada yang tahu perbuatan kita? Atau mengerjakannya sesuai kemampuan kita, karena merasa Allah Swt. selalu mengawasi?

 

Apa pula yang kita lakukan sebagai seorang pekerja baik itu pegawai negeri maupun swasta? Melaksanakan semua tugas dengan kemampuan terbaik atau malah menggunakan setiap keahlian tersebut untuk memperkaya diri sendiri? Cobalah renungkan semua yang sudah dilakukan selama ini. Apakah sudah sesuai dengan nafas kalimat yang kita ucapkan lebih dari 5 kali sehari itu?

 

“Kita hanyalah pengembara. Jangan sampai engkau tergila dengan halte. Istirahatlah sejenak, duduklah sebentar, minumlah beberapa teguk air, makanlah beberapa suap nasi, agar energi terbangkitkan untuk melanjutkan pengembaraan.”

-Ahmad Rifa’i Rif’an-

 

Membuat Rumah Kita Di Dunia Seindah Istana Di Surga

Apa standar hidup kita di dunia? Beberapa orang memasang standar hidup yang cukup tinggi. Bahkan mengusahakan berbagai cara untuk mencapainya. Padahal Rasulullah sudah menyampaikan, tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki. Yakni, istri yang salehah, kendaraan yang baik serta rumah yang lapang damai dan penuh kasih sayang. (HR. Abu Daud).

 

Sebagai seorang perempuan, pastinya kita memiliki standar hidup yang berbeda. Namun, kemungkinan besar salah satunya adalah menikah dan memiliki anak. Di mana sesuai tuntunan Nabi kita, menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Sebab, dengan menikah bukan hanya menghalalkan aktivitas rahasia di kamar, melainkan juga untuk membentuk keluarga muslim yang siap menegakkan syariat Islam. Dengan pernikahan akan ada peran-peran baru yang akan diemban. Menjadi suami dan istri, menjadi ayah dan bunda juga menjadi orang tua bagi anak-anak yang akan terlahir di dalamnya.

 

Menjadi seorang ayah memotivasi kita kita untuk semangat berusaha dan bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai seorang ibu menjadikan kita mampu untuk memilih mengelola rumah tangga. Dan menjadikan orang tua, membuat kita mampu mengalahkan ego diri sendiri untuk mengedepankan kebahagiaan seluruh keluarga.

 

Dalam Al-qur’an dan hadits nabi, banyak disampaikan tuntunan pernikahan sesuai syariat Islam. Di sana juga dijelaskan bagaimana menempatkan diri sebagai suami dan ayah bagi laki-laki; menjadi istri dan ibu bagi seorang perempuan dan memposisikan diri sebagai anak yang saleh dan saleha bagi semuanya. Dalam dua tuntunan inilah, kita bisa mengambil standar hidup yang kita inginkan. Supaya rumah yang kita bangun di dunia, bisa seindah istana di surga.

 

Menjadi Muslim dan Muslimah yang Bermanfaat, di Mana Pun Berkiprah

Peran apa yang kita pilih dalam menjalani aktivitas di dunia? Menjadi Ibu rumah tangga full time, pedagang, pekerja kantoran atau yang lainnya? Sesungguhnya peran apa pun yang dipilih, pastikan membuat kita semakin bertakwa kepada Allah Swt.

 

Saat ini kita hidup di zaman yang bisa dibilang edan. Sehingga terkadang apa yang dilakukan juga ikutan edan. Dengan alasan kebutuhan hidup, segala cara baik halal maupun tidak akan ditempuh. Suap merajalela. Korupsi pun seperti merata di setiap lapisan pelayanan. Hanya orang-orang yang memiliki nurani dan bergantung pada keridhaan Sang Khalik yang bisa menghindar dan tidak terbawa arus.

 

Dalam sebuah hadits riwayat At Thabrani, Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sebab, manusia seperti ini akan berusaha membantu yang lainnya dengan semua yang dia punya. Sehingga tak akan ada orang yang akan kesusahan jika di sekitarnya ada orang-orang seperti ini.

 

Orang seperti inilah yang boleh kita sebut manusia wajib. Artinya dia “wajib” ada. Sebab dengan adanya dia akan membawa kebahagiaan buat orang banyak. Jadi, untuk bisa sukses tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat, kita harus berusaha menjadi orang yang sosoknya begitu dibutuhkan di zaman seperti ini. Tidak masalah peran apa yang dijalaninya, asalkan karakternya memenuhi kriteria sebagai manusia wajib.

 

“Ada yang dalam waktu 24 jam itu mampu mengurus negara, jutaan orang, atau aneka perusahaan raksasa dengan ratusan ribu pegawai, tapi ada yang dalam 24 jam mengurus diri sendiri saja tidak mampu.”

-Ahmad Rifa’i Rif’an-

 

Merencanakan Alur Hidup Menjemput Kesuksesan

Tidak dipungkiri bahwa sukses menjadi tujuan hidup setiap orang. Namun, definisi kesuksesan dan tingkatannya pasti berbeda-beda. Ada yang merasa sukses dengan memiliki harta berlimpah dan pekerjaan hebat, dan masih banyak lagi kriteria kesuksesan yang lain. Apapun bentuknya, seringkali membuat orang menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

 

Sebagai seorang muslim/muslimah, kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Pada diri Rasulullah Saw telah ada teladan yang dahsyat. Beliau kekayaannya berlimpah, popular di banyak negara, hidupnya bahagia, bermanfaat bagi semesta dan sudah dijamin masuk surga. Inilah tangga-tangga kesuksesan sebenarnya.

 

Tangga terendah adalah dunia. Menjadi kaya raya, populer, terkenal dan lain-lain. Semuanya lebih bersifat egosentris. Tangga ini akan mengangkat kita dalam sebutan “elit” di lingkungan sosial kita. Jika bisa mengendalikan tangga ini–tidak sebaliknya– akan memudahkan kita untuk mendaki tangga selanjutnya.

 

Tangga kedua adalah kebahagiaan. Tidak seperti tangga pertama yang hanya bersifat materi, tangga kedua ini meliputi ketenangan dan kedamaian jiwa. Meskipun tidak mudah, untuk mencapai tangga ini kita tidak harus melalui tangga pertama. Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan, tetapi tanpa uang, kadang sulit untuk Bahagia.

 

Tangga berikutnya adalah bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebenarnya tidak masalah jika kita membagikan semua yang kita miliki hanya untuk orang terdekat kita. Namun, jika kita ingin ditolong Allah, maka kita harus menggunakan semua sumber daya kita untuk menolong orang lain. Tidak hanya keluarga terdekat kita, melainkan semua makhluk-Nya.

 

Tangga terakhir adalah keabadian yang hanya bisa diperoleh saat hari akhir. Yaitu, saat kita bisa masuk ke surga-Nya. Meskipun tangga kesuksesan ini hanya bisa diketahui nanti, tetap bisa kita usahakan saat ini. Yakni dengan memanfaatkan tangga kita yang lain untuk mengaspal jalan menuju tangga terakhir ini.

 

Beberapa Hal yang Bisa Disimpulkan dari Buku Ini

Renungkan porsi waktu yang kita alokasikan untuk beribadah dan berkomunikasi kepada Allah serta mengumpulkan bekal untuk menghadap-Nya. Jika jawabannya membuat kita malu mengakui, bersegeralah memperbaiki diri. Sebelum jatah waktu hidup kita di dunia habis, dan kita hanya bisa menyesali setiap detik yang kita habiskan di sini.

Jadikan Al-qur’an dan Hadits Nabi menjadi tuntunan kita menjalankan peran dalam keluarga. Sehingga bisa menjadikan rumah tangga kita seindah istana di surga.

Peran apapun yang kita jalani dalam kehidupan, gunakan untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt.

Banyak kriteria kesuksesan yang dianut banyak orang. Namun, teladan terbaik adalah kesuksesan Rasulullah Saw. Beliau kaya dan terpandang, selalu bahagia dalam hidupnya, bermanfaat buat semesta juga dijamin masuk surga.

 

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Comments are closed.