Sebentar lagi Ramadhan tiba. Salah satu rukun Islam yang selalu ditunggu mayoritas penduduk di Indonesia itu memang senantiasa membawa beragam kisah yang bisa ditafakuri, baik sebagai hikmah maupun selaku doa. Tak berbeda untukku. Ramadhan buatku juga punya beberapa arti, seiring tahap pendewasaan pribadi, yang kualami.
Teringat puluhan tahun lalu, ketika Ramadhan menjadi ajang awal pelatihan ibadahku. Dengan iming-iming hadiah, di usia beliaku dulu, tentu saja membuat Ramadhan aku jalani dengan semangat tinggi. Dimulai dengan puasa setengah hari, berlanjut ke tiga perempat hari, sampai akhirnya aku mampu menahan haus dan lapar selama penuh satu hari. Tak bisa dilukiskan kegembiraan yang aku rasakan saat itu, ketika berhasil melewati tantangan puasa penuh satu bulan tanpa jeda. Tidak juga seukuran rupiah lima lembar sepuluh ribuan. Padahal, nilai uang sebanyak itu, setara dengan lima ratus ribu rupiah di masa kini. Lumayan besar memang. Namun, tetap tak bisa dipadankan.
Hari-hari Ramadhan saat itu, adalah waktu penuh keriangan. Mengukur keberuntungan berjualan air waktu munggahan, menantang keberanian dengan berjalan-jalan dini hari di pemakaman, belajar menyiapkan hidangan berbuka yang dijual kakak sepupu di depan rumah, hingga kegembiraan berburu baju lebaran eksklusif yang tidak dikembari teman satu kampung. Semua begitu ceria dan penuh warna.
Tak ada yang bisa menandingi kegembiraan saat Ramadhan. Sehingga penantian terhadap bulan puasa selalu dirasakan penuh kerinduan.
Kemudian ketika beranjak besar, saat usia dewasa muda, makna Ramadhan menguat menjadi wahana pelatihan konsistensi ibadah. Tak ada lagi iming-iming hadiah bila mampu menggenapi puasa tanpa alpa. Tidak juga perburuan baju untuk hari raya. Semuanya berubah mendewasa.
Saat itu, targetku tidak hanya mampu untuk puasa full, tapi juga meningkat pada penetapan target khatam Qur’an setiap Ramadhan. Dan ternyata butuh kerja keras serta komitmen tinggi untuk membuatnya tercapai. Tapi, rasanya, menggapai keberhasilan saat Ramadhan lebih memungkinkan, ketimbang setelahnya. Mungkin karena suasana Ramadhan yang religius, selalu mendorong orang untuk semangat menuntaskan semua target ibadah yang telah ditentukan. Karena suasana seperti ini tidak ditemukan di masa setelah Ramadhan, benar-benar butuh ekstra semangat untuk mempertahankannya tetap terjaga. Meskipun begitu, Ramadhan tetap menjadi tolok ukur peningkatan iman dan kematangan jiwa, terutama bagi diriku sendiri.
Sekarang, di masa kini, saat aku tidak lagi sendiri, karena punya keluarga yang harus aku layani. Aku tinggal dan bekerja jauh dari orang tua dan saudara. Saat ini, Ramadhan mempunyai arti yang lebih luas lagi. Tidak hanya dalam rangka penggemblengan untuk memantapkan ibadah dan penguatan jiwa, tetapi sekaligus sebagai ajang mempererat silaturahmi.
Bila dahulu saat puasa hanya diisi kegiatan ringan saja, sekarang aktivitas yang aku lakukan cenderung lebih padat malah ketika Ramadhan. Ketika tahun-tahun sebelumnya aku selalu bisa menyiapkan hidangan berbuka, dan berkumpul bersama keluarga, saat adzan maghrib menggema. Kini, seringkali suami yang mengambil inisiatif untuk memesan tempat di rumah makan terdekat, agar tetap bisa berbuka puasa bersama keluarga kecil kami.
*****
Kemudian, apalagi makna yang didapat dalam Ramadhan. Juga makna Ramadhan bagi para kontributor antologi kali ini. Semua bisa didapatkan dari buku sarat makna ini. Semoga bisa menjadi semangat untuk menjadikan Ramadhan kali ini, Ramadhan terbaik diri…
No Responses