ESSAY WEEK #2 : UJIAN NASIONAL TAK PERLU DILANJUTKAN

ESSAY WEEK #2 : UJIAN NASIONAL TAK PERLU DILANJUTKAN

Beberapa tahun ini, sejak mulai diberlakukannya, saya mendengar banyak pendapat tentang Ujian Nasional. Tentang tata cara penilaiannya, mengenai berita-berita seputarnya. Jujur, awalnya saya biasa saja. Tidak terusik sama sekali. Hanya sekedar berita yang perlu didengar, untuk kemudian dilupakan. Mungkin karena merasa tidak berkepentingan, sehingga saya melakukannya. Atau mungkin juga karena​ masa bodoh dengan apa yang akan terjadi. Bisa saja… Tapi untuk kali ini, tidak. Karena tahun ini anak saya berada di kelas VI sekolah dasar. Meski bukan di sekolah negeri, tetap saja saya merasa punya kepentingan tentang perlu tidaknya UN diselenggarakan.

Dalam sistem pendidikan, pelatihan atau sistem apa pun, ujian memang diperlukan. Karena sebagai sarana untuk menentukan apakah seseorang layak atau tidak, untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya atau sebagai prasyarat memasuki jenjang pendidikan tertentu. Dan banyak macam ujian yang bisa dipilih sebagai salah satu caranya. Namun dari beberapa sistem ujian yang telah diselenggarakan, sistem Ujian Nasional, memang yang paling banyak mengundang pro dan kontra. Buat saya pribadi, dari mendengar dan membaca beberapa berita seputar UN, cukup memberi dasar untuk berpendapat tentang UN.

Sistem UN yang dilaksanakan pemerintah kita, sepertinya hanya mengutamakan hasil dari satu kali ujian itu saja, sebagai syarat kelulusan seorang siswa, tanpa melihat sama sekali hasil pembelajarannya selama 6 tahun atau 3 tahun di jenjang pendidikannya. Padahal untuk berhasil melalui suatu ujian, banyak hal yang bisa mempengaruhinya, baik keberhasilan atau pun kegagalan. Misalkan, saat pelaksanaan UN seorang siswa menderita sakit atau musibah lain, alangkah menyedihkan menilai kemampuannya hanya dari satu kali ujian itu saja, yang bahkan dilewati dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjalani ujian.

Pàtokan nilai UN sebagai standar kelulusan​ seorang siswa, menurut saya benar-benar​ suatu bentuk ketidakadilan. Karena seolah-olah menghapus sama sekali kerja keras seorang siswa, dalam menjalani proses pembelajarannya. Padahal bisa jadi saat mengikuti UN, dia tidak dalam performa terbaik yang banyak hal bisa mempengaruhinya.

Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan UN, menurut saya suatu kesia-siaan yang dilegalkan. Padahal, dana ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan kualitas pendidikan yang lainnya, dan tidak hanya untuk UN. Karena Atas nama UN, banyak pihak seperti memancing di air keruh, memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi, dengan menarik biaya-biaya lain terkait UN.

Selain itu, dengan adanya UN ini, menjadi muncul banyak kecurangan-kecurangan sebagai efek sampingnya, di antaranya dengan adanya joki-joki UN. Hal ini bisa jadi akibat Standar nilai UN yang menjadi syarat kelulusan. Karena dari pada tidak lulus, siswa dan orang tua yang berpikiran sempit dan picik akan mencari cara, meskipun curang asal anaknya bisa lulus.

Jadi dari beberapa argumen tadi, menjadi alasan untuk penghapusan sistem UN. Masih banyak cara lain untuk menyeleksi siswa yang layak melanjutkan tingkat pendidikannya atau sebagai syarat memasuki level pendidikan tertentu. Atau bisa juga dengan menggunakan kembali sistem yang sebelumnya sudah ada, seperti sistem NEM. Karena sistem yang lama bukan berarti kemunduran, buruk atau usang. Kalau memang sistem ini memberikan hasil yang maksimal dan sesuai tujuan pendidikan kita, kenapa tidak digunakan? Hanya orang-orang sombong yang tidak menggunakan sistem yang nyata bermanfaat, hanya karena sistem ini dikembangkan bukan oleh dirinya…

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Comments are closed.