Siapa yang tahu kupu-kupu? Makhluk bersayap indah yang selalu menghinggapi bunga yang juga indah. Tentu semua tahu, ya. Kupu-kupu merupakan salah satu makhluk hidup yang mengalami metamorphosis sempurna. Dari sebutir telur yang kemudian berkembang menjadi ulat. Ulat ini selanjutnya membungkus diri dalam kepompong dan akhirnya keluar menjadi kupu-kupu indah yang menawan hati.
Ada yang tahu, apa yang terjadi jika kita mempercepat proses ini? Misalnya ketika ulat membungkus diri dalam kepompong, karena kasihan kita lalu membuka lapisan kepompong itu agar kupu-kupu bisa segera keluar. Apa yang kemudian terjadi? Apakah benar kupu-kupu akan keluar lebih cepat? Rupanya, tidak. Tindakan belas kasih kita membuka lapisan kepompong yang diniatkan untuk membantu agar kupu-kupu bisa keluar lebih cepat, ternyata malah membunuhnya.
Dewasa ini kebanyakan orang memang menyukai yang serba cepat alias instan. Berapa banyak orang yang memotong antrian, hanya karena malas menunggu gilirannya datang. Puluhan bahkan mungkin ratusan mahasiswa yang memilih menjiplak karya tulis orang lain dan mengakuinya sebagai karyanya sendiri. Dengan alasan sepele, hanya karena malas dan enggan menempuh langkah demi langkah sesuai yang dibutuhkan.
Dan seperti peristiwa kematian kupu-kupu akibat mempercepat proses dari siklus metamorphosis nya, sesungguhnya seperti itu juga akibat yang akan ditimbulkan, gegara kita tak cukup sabar melewati tahap demi tahap prpsesnya — yaitu kematian. Paling tidak kematian karakter yang seharusnya bisa ditumbuhkan dalam menjalani proses secara keseliuuhan.
Baca juga: Pelajaran dari Kursi Penumpang
Sebenarnya seperti itu juga yang akan terjadi ketika kita tidak menghargai proses dalam memberikan pembelajaran keterampilan hidup pada anak-anak kita.
Berapa banyak ibu yang tidak sabar melatih anaknya untuk bisa makan dengan tertib dan rapih? Sehingga ketika makanan berserakan, yang terjadi adalah, sang ibu malah mengambil piring dan perlengkapan makan tadi dan mulai menyuapi anaknya.
Berapa banyak juga bunda yang bisa tahan menyaksikan putra kesayangannya memecahkan piring dan gelas saat belajar mencuci piring. Kebanyakan yang terjadi malah para ibu tadi yang langsung mengambil alih cucian piring tadi.
Padahal, apa lah artinya rumah yang kotor dengan serakan makanan dari putra dan putri kita yang sedang berlatih makan sendiri? Jika akhirnya mereka terampil makan sendiri dan bisa membiarkan bundanya mengerjakan pekerjaan lain sementara mereka makan. Berapa lah besarnya kerugian uang pembeli piring dan gelas yang dipecahkan putra putri kecil kita yang sedang berlatih mencuci piring. Jika kemudian, mereka bisa membantu kita untuk melakukannya saat ART berhalangan hadir.
Semua memang ada harganya. Juga ketika kita mempercepat proses atau tidak mau membayar waktu dan biaya pembelajaran keterampilan hidup untuk anak-anak kita. Ada harga yang harus dibayar di esok hari. Jadi, jika kita tidak ingin membayar harga yang lebih mahal di masa depan akibat ketidaksabaran kita menghargai proses pembelajaran yang harus ditempuh, marilah sama-sama hargai setiap proses yang harus dijalani untuk menggapainya.
Tags:
No Responses